Selasa, 21 April 2009

Temporary Indonesian?

Sebulan yang lalu saya dan istri saya berkesempatan untuk pergi honeymoon (mohon maklum, kami pengantin baru J) di pulau Penang, salau satu pulau di negeri Malaysia. Sebuah pulau kecil yang asri, bagus dan sangat teratur. Bagaimanapun, saya salut dengan konservasi dan pemeliharaan arsitektur dan bangunan kuno di pulau ini. Tidak ada bangunan kuno yang digusur demi kepentingan komersial. Kampung-kampung China, India dan Malay dalam zoning yang teratur. Semua serba terencana dengan baik. Sebagai alumni mahasiswa arsitektur, bagi saya sangat menyenangkan berjalan-jalan dan berkeliling di pulau mungil ini.

Ketika di bus berjalan sesuai rute, tour guide dengan bahasa Inggris yang sangat fasih dan kocak menerangkan sejarah dan ruang lingkup pulau Penang sebagai bekas jajahan Inggris. Suatu saat, telunjuk tangan dia menunjuk ke arah samping kiri bus kami dan berkata,” You see, those people are temporary Malaysian!” Sejenak kami bingung, soalnya yang kami lihat adalah orang-orang Malaysia biasa. Apakah mereka imigran? Ataukah kondisi politik negara Malaysia yang menyebabkan penduduk asli hendak pindah kewarganegaraan?

Ternyata tidak. Dia melanjutkan ucapannya,” People who’s riding with motorcycles. We called them temporary Malaysian.. Why? Because they don’t live longer. Soon they will die because of the dangerously of riding motorcycles! Too much motor accident here. Soon they will die or they must have more than two lives to dare to ride motorcycles.”

Kami hanya tercengang, lalu tertawa getir..

Saya langsung membayangkan kondisi di Indonesia. Berapa banyak pengendara motor di Indonesia? Berapa banyak kecelakaan yang terjadi menimpa pengendara sepeda motor? Apakah mereka adalah “temporary Indonesian”?

Seberapa jauh kepedulian kita untuk melakukan safety riding? Apakah hanya sebagai jargon saja? Tapi, sebenarnya pelu kita pikirkan juga, seberapa amankah pengendara sepeda motor yang patuh dengan pola safety riding tetapi ternyata juga tetap harus mempertaruhkan nyawa di jalan?

Kita sudah banyak mendengar bahwa kecelakaan seringkali terjadi karena kecerobohan desain dan perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Pembatas busway di Jakarta, jalan yang berlubang, minimnya penerangan jalan umum, tidak adanya jalur khusus motor, dll adalah makanan sehari-hari yang turut andil menyumbang meningkatnya jumlah “temporary Indonesian”.

Belum lagi kesembronoan pribadi pengendara motor, seperti mengetik sms atau menelepon sambil mengendarai motor, menaruh anak kecil di sadel depan motor, mengendarai di jalur cepat, memakai helm tidak standar dan nekat menerobos palang pintu kereta api yang hendak lewat.

Sekarang, kembali ke hal-hal yang mendasar. Mengapa banyak orang membeli motor? Mengapa orang tidak memilih menggunakan transportasi publik? Menurut saya, ada beberapa sebab. Pertama, karena transportasi publik dirasa lebih tidak aman dan tidak dipercaya. Bagaimana mungkin bus atau kereta bisa aman, lha wong pesawat aja bisa sering kecelakaan kok.
Kedua, leletnya transportasi publik! Dengan transportasi publik, sedikit-sedikit berhenti. Dengan naik motor, kita bisa meliuk-liuk mengatasi macetnya kota, bisa lewat jalan tikus, apalagi kalau mau nonton dan duduk bareng Catherine Wilson seperti di salah satu iklan televisi.
Ketiga, macetnya jalanan. Apalagi jalanan kota Jakarta. Saya bersyukur tinggal di Surabaya, walaupun beberapa tahun lagi kemacetan Surabaya mungkin akan bernasib seperti Jakarta. Dari pinggiran kota Surabaya, maksimal dalam waktu setengah jam nyetir santai, sampai sudah di pusat kota.
Keempat, adanya fasilitas kredit murah yang sangat menggiurkan konsumen dari pihak leasing/finance. Hanya dengan satu-dua lembar merah uang rupiah, sepeda motor bisa langsung dikirim ke rumah. Gratis helm dan jaket cantik lagi. Kalau tidak sanggup membayar cicilan, tinggal tunggu diambil debt collector atau juru sita.
Kelima, kadang-kadang saya pribadi berasumsi (boleh khan?) bahwa apakah lobby dari pihak ATPM motor dan mobil begitu kuat sehingga transportasi publik di Indonesia ini hanya jalan di tempat saja? Sehingga akhirnya hasrat konsumtivisme semakin dan semakin terus menerus dirangsang?

Apapun sebab dan tujuannya, bagi saya, penambahan jumlah “Temporary Indonesian” harus dihentikan. Cukup sudah. Harus mulai serius dipikirkan solusinya. Terlalu banyak pertaruhan nyawa di jalanan. Atau seharusnya kita mulai memikirkan bagaimana membuat nyawa menjadi double? :P

Fandi Gunawan