Kamis, 29 Januari 2009

Sinetron dan reality show, potret masa depan Indonesia?

Sinetron dan reality show, potret masa depan Indonesia?

Sudah terlalu banyak protes dan reaksi yang disampaikan oleh masyarakat Indonesia atas suguhan yang tiap saat terpampang di wajah televisi kita. Mulai dari “kekompakan” hampir semua stasiun televisi (kalau lagi ngetren tema horror, horror semua. Kalau lagi ngetren tema komedi, komedi semua. Sekarang sih katanya lagi ngetren romantisme anak muda) sampai kepada kualitas tayangnya.

Beberapa ahli komunikasi dan filsafat setuju bahwa apa yang disuguhkan sekarang adalah akan berimbas pada budaya kita sepuluh tahun mendatang. Jika kita sejenak flash-back pada sepuluh tahun yang lalu, tayangan tentang cerai-kawin lagi sudah mulai marak. Imbasnya, sekarang kita menganggap bahwa perceraian sudah bukan masalah yang esensial, malah menjadi “makanan” sehari-hari.

Jika sekarang kita mencermati tayangan di televisi, ada beberapa spot yang akan menjadi budaya yang bisa diterima di masa depan. Salah satu yang pasti, perangai kebanci-bancian. Dulu orang merasa risih dengan ini. Sekarang, dengan santainya kita bisa ngakak kalo lihat extravaganza. Apakah kita bisa ngakak kalau anak kecil kita berperilaku seperti tokoh di extravaganza (laki-laki berkostum dan berperilaku seperti perempuan atau sebaliknya)?

Yang lebih mengenaskan, kita tahu bahwa sinetron dan tayangan lainnya selalu mengalami kejar tayang. Malah sering terjadi, pagi syuting, siang atau sore diedit dan malamnya sudah ditampilkan di televisi. Kualitas apa yang bisa kita harapkan dari sistem seperti ini? Seringkali, karena sinetron tersebut sedang tinggi ratingnya, seorang yang protagonis akan tahu-tahu secepat kilat berganti menjadi tokoh jahat, demi tuntutan skenario yang tidak konsisten. Budaya apa yang akan ditanamkan kepada pemirsa kalau kualitas moral yang ditawarkan adalah seperti ini?

Belum lagi soal reality show dan reportase. Kawin-cerai, umpatan-umpatan (walaupun disensor “tiiiit”), dan perilaku kekerasan dari selebriti yang membuat kru syuting menjadi semakin bergairah. Bad news is good news! Kompas beberapa waktu yang lalu sempat meliput demontrasi para korban investasi macet di sebuah kantor dan suasananya tenang-tenang saja, ada wartawan yang memprovokasi,”kok gini mas, itu komputer dibanting aja!”. Langsung massa yang rata-rata berpakaian rapi jadi mengamuk dan menghancurkan seisi kantor tersebut. Wartawan merasa mendapat “darah segar” dan langsung meliput dan menyiarkannya di televisi.

Beginikah potret tayangan yang menjadi konsumsi publik televisi di Indonesia?
Beginikah potret masa depan Indonesia?

2 komentar:

  1. Salam kenal, nama saya Fandi Gunawan juga. Sama2 lulusan teknik juga dan dari Jawa Timur. Sekali lagi salam kenal.

    BalasHapus
  2. Hahaha..no problem, Ko Fan..
    Mari kita bikin sinetron yg bermutu!
    Yg maen arek2 Tenggilis kabeh..Hahahahahaha!!
    =P

    BalasHapus